"You think I'm pretty?" ~ the Alien
Jika ditanya film apa yang paling saya tunggu di tahun ini? Maka inilah jawabannya. Under the Skin tak hanya membawa pesona-pesona film pemikir lain, ia juga membawa tema yang sebenarnya lebih pas dengan tipe film blockbuster yang kaya aksi. Ya, tak seperti film alien lain, ini adalah murni sebuah karya arthouse yang merupakan adaptasi lepas dari novel berjudul sama karya Michael Faber. Under the Skin sendiri ditangani oleh sineas Jonathan Glazer, dengan naskah adaptasi dari Walter Campbell. Di jajaran cast, Under the Skin dipimpin oleh nama Scarlett Johansson sebagai sang alien yang bersembunyi di bawah kulit seorang wanita cantik.
Under the Skin bertutur tentang seorang wanita (Scarlett Johansson), yang rupanya merupakan seorang alien berwujud wanita cantik yang sedang menyamar di suatu daerah di Skotlandia. Ia ditugaskan memerangkap para pria yang tergoda dengan kecantikannya, dengan sebuah perangkap berupa cairan hitam kental yang mampu 'memanen' tubuh mereka. Modusnya, dengan berpura-pura tersesat, menanyakan alamat pada para pria, dan menawarkan tumpangan pada mereka. Tapi, ia dihadapi keraguan akan tugasnya ketika ia bertemu dengan seorang calan korban yang merupakan penderita neurofibromatosis. Dari situ, sang alien yang awalnya hanya merupakan alat tanpa emosi, kini perlahan menumbuhkan sifat-sifat manusianya.
Dari distrik penulisan, Under the Skin memiliki screenplay yang rumit. Ia hadir dengan membawa kisah seorang alien di bumi, tapi bukan kisah alien biasa. Bahkan, mungkin saja ini tak berhubungan dengan alien sama sekali. Ya, banyak kemungkinan yang muncul jika membicarakan kisahnya. Bergelimpahan metafora yang kerap membingungkan, yang dibarengi dengan dialog miskinnya yang kalau dihitung-hitung hanya terdiri atas 300 baris saja, Under the Skin jelas mempunyai naskah yang tidak dapat dilahap begitu saja. Naskah gubahan Walter Campbell ini memang butuh tenaga yang benar-benar ekstra untuk dimengerti, tapi tak lantas ini membuat Under the Skin menjadi film yang tak tentu arah hanya karena naskahnya. Justru, naskah ini tahu persis arah yang ia tuju, dan hal ini lah yang mampu membuat Under the Skin bersinar terang, menjadi salah satu film terbaik tahun ini.
Sebenarnya, Walter Campbell memiliki waktu kapan saja untuk memberikan penjelasan bagi tiap anak sungai plotnya. Fortunately, he didn't do it. Sebaliknya, ia lebih memilih untuk bermain-main dengan temanya. Dengan dialog yang sepi, banyak ruang yang terbuka baginya untuk mengembangkan tiap simbolisme yang bukan hanya bekerja sebagai ornamen yang mempercantik cerita, tapi menjadi bagian krusial yang membangun sebuah cerita. Ya, pondasi film ini adalah interpretasi dari tiap mata yang menontonnya, inilah yang membedakan Under the Skin dengan film bertema serupa. Para penonton dituntut untuk terus melihat tiap detail dalam cerita. Apa yang terjadi ketika Johansson memakan cake-nya? Siapa wanita yang pakaiannya ia lucuti? Mengapa ia mengangis? Siapa si pengendara motor itu? Mengapa setelah beberapa waktu ia memutuskan untuk berjalan kaki ketimbang mengendarai vannya? Kita memang tak pernah diberitahu apa yang sedang terjadi, namun hal-hal kecil tersebut sebenarnya dapat menuntun kita dalam perjalanan menelusuri labirin ini.
Di tangan Glazer lah karya jenius itu dapat tercipta. Dimulai sejak opening sequence, Under the Skin telah menghipnotis saya. Dibuka dengan cahaya dari kejauhan, kemudian perlahan tampak seperti rupa gerhana, yang akhirnya menampilkan visual mata manusia, yang ditemani suara Johansson berlatih bahasa manusia. Ya, ini mungkin adalah sekuen penciptaan alien terbaik yang pernah ada. Dengan hanya mengandalkan visual cantik itu, Glazer mencoba menggali imajinasi liar kita tentang sebuah penciptaan alien yang benar-benar lain dari pada yang lain. Ia menuntun kita ke sebuah awal perjalanan epik yang nantinya akan mengawali kisahnya yang misterius dan dingin. Ini mungkin sederhana, tapi di balik itu, pembuka ini menimbulkan sensasi yang luar biasa.
Ketika masuk ke kisah utama, Glazer tak pernah sekalipun kehilangan pesonanya. Dengan diiringi sinematografi tenang serta musik latar mencekam penuh bunyi-bunyi aneh yang siap menciutkan nyali (one of the best soundtracks i've ever heard!), ia memerangkap pikiran kita ke sebuah rollercoaster yang tak henti-hentinya merangsang otak untuk terus berpikir. Dingin, itulah kata yang muncul pertama kali ketika mendeskripsikan arahan Glazer. Glazer memang tak memikirkan akal sehat penonton yang mungkin terus bergejolak sepanjang film, sebaliknya, penonton lah yang harus terus mengikuti menit tiap menit, mengikuti alam liar dalam kepala Glazer, mengikuti alur gila yang akan ia ceritakan. Ia mampu menggambarkan tiap plot hanya dengan visual. Lihat bagaimana transisi Johansson, yang awalnya tak mengindahkan tangisan seorang bayi sekalipun. Tapi, momen terbaik ada ketika Johansson telah menemukan mangsa yang tepat. Seketika itu pula, Under the Skin menghipnotis penonton ke dalam dunia femme fatale yang sunyi, dingin, kaku, dan menghipnotis. Scene-scene ini banyak mengalami pengulangan, namun dengan tambahan ornamen di tiap sekuennya, mampu membuat hal ini begitu menarik dan makin menghipnotis.
Tapi, siapa pun rasanya akan terhipnotis dengan pesona Scarlett Johansson. Di sini, ia adalah kebalikan dari Samantha dalam Her yang hanya menampilkan suara tanpa wujud. Sebagai seorang alien sekaligus perwujudan femme fatale, ia sangat hemat dalam berbicara, sebaliknya ia benar-benar memanfaatkan tiap bahasa tubuh, lengkap dengan pandangan kosong namun tetap tajam. Sebagai seorang wanita seduktif, ia ganas tanpa harus berkata-kata. Taktiknya cerdas tanpa perlu usaha berlebih. Sebagai seorang alien, ia seperti bayi yang baru lahir. Kita dapat merasakannya terasing di dunia yang ia belum kenali, ia harus beradaptasi dengan tiap perubahan. Tapi, perlahan sifatnya mulai tergerus dengan sifat-sifat manusia. Ia memang masih berlaku layaknya robot yang super kaku, tapi ia juga seperti manusia lain yang memiliki simpati. Dan ketika itu terjadi, pelan-pelan penonton membalasnya dengan simpati pada sang alien, dan merasakan yang ia rasakan. Ini jelas bukan suatu pekerjaan yang mudah dilakukan, namun Johansson mampu membuatnya terlihat begitu mudah. Scarlett Johansson, once again, with this mesmerizing work, she gives us a proof that she's the one to watch in this biz.
Salah satu yang saya kagumi dari film ini adalah Glazer tak pernah menceritakan apa yang terjadi. Semuanya terjadi mengalir begitu saja. Ia memberikan kuasa bagi kita untuk terus meraba-raba, menerka apa yang sedang ia ceritakan. Kemudian merangkai dengan berbagai petunjuk yang ia berikan. Belum lagi, dengan dialog-dialog miskin di dalamnya, yang membuat penonton hanya mengandalkan visual-visualnya yang absurd. Menonton Under the Skin tak ubahnya sedang menyusun kepingan-kepingan puzzle yang berserakan di mana-mana. Kita harus menemukan tiap kepingan itu terlebih dahulu, mencari dan meraba tiap ruang dan sela, kemudian menyusunnya. Tentu, dalam hal ini, ini merupakan pekerjaan susah-gampang.
Memang, film ini bukan untuk semua orang, segmented, terbatas. Kalau anda salah satu orang yang melakukan walkout ketika menonton Tree of Life, maka ini bukan film untuk anda. Kalau anda adalah orang yang tidur sepanjang menonton 2001: A Space Odyssey, makan anda bukan orang yang tepat. Kalau anda adalah orang yang mencaci maki Holy Motors hanya karena tak mengerti apa yang sedang terjadi, anda juga bukan sasaran film ini. Under the Skin memang membutuhkan kesabaran yang tinggi, tak hanya membutuhkan penonton yang sekadar menonton dan menerima apa yang mereka lihat, film ini butuh penonton yang siap merasa bosan, bukan hanya mengambil apa yang ada di depan mata, namun dapat memproses setiap pergerakan di dalam layar.
Pada akhirnya, Under the Skin adalah momentum selebrasi bagi siapapun penggemar jenis film ini. Pengarahan Glazer banyak dipengaruhi para sineas pemikir lain, dari Stanley Kubrick yang penuh metafora, sampai David Lynch yang sudah benar-benar di luar batas kewajaran (meski di sini Glazer tak pernah benar-benar memasuki dunia David Lynch yang luar biasa absurd). Menonton karya Glazer tak ubahnya mendapatkan sensasi absurd dari Holy Motors, menegangkan a la The Shining, sunyi sesunyi Amour, penuh permainan metafora layaknya 2001: A Space Odyssey, hingga kaya musik mencekam seperti Upstream Color. Tapi, sejujurnya, Under the Skin juga lebih dari itu. Hal-hal itu hanyalah impresi yang dihasikan oleh sebuah kisah mencekam yang dapat menceritakan kisahnya tanpa kata-kata. Penuh pemikiran, kental akan esensi-esensi artistik, seduktif, atmosfernya dingin dengan Scarlett Johansson yang tak kalah dingin, Under the Skin berhasil mencerminkan sebuah karya yang menuntut ketelitian dan kesempurnaan di tiap aspek (nearly, at least).