Thursday, June 19, 2014

Tagged under: , , , , ,

[TV Review] Fargo (Season 1)

"He's not gonna stop. You know that, right? A man like that, maybe not even a man." ~ Molly

Tahun ini, jujur merupakan tahun di mana TV series berkualitas tumbuh menjamur. Sekalipun saya tak mengikuti seluruhnya, namun tentu beberapa di antaranya. Salah satunya, adalah Fargo. Dari namanya, tentu anda dapat menebak bahwa series ini didasari dan berlatar sama dengan sebuah film berjudul sama, Fargo, karya Coen Brothers, yang sampai sekarang dikenal sebagai salah satu dark comedy terbaik, if not the best. Well, show ini telah mencapai penghujung episodenya, dan layaknya sang pendahulu, Fargo versi modern adalah salah satu TV show terbaik yang pernah ada, and here's why. Oops, dan satu lagi peringatan, spoilers bertebaran di mana-mana. 

'THIS IS A TRUE STORY. The events depicted took place in Minnesota in 2006. At the request of the survivors, the names have been changed.' Ya, itulah yang akan anda lihat setiap menonton tiap episode dari Fargo, hal yang sama juga dilakukan Fargo versi Coen Brothers. Tapi, jangan tertipu, karena keduanya sebenarnya murni kisah fiktif. Ya, tak ada Lorne Malvo dan Lester Nygaard, yang artinya pula, tak ada Marge Gunderson, Jerry Lundergaard, dan Carl 'funny-looking-guy' Showalter. Jadi, untuk apa ini semua? Well, Coen Brothers are geniuses. Mereka tahu cara agar penonton dapat lebih terhubung ke dalam suatu cerita, and i must say, this is the way, and it's brilliant! But, it's not the only way.


Dari sisi screenplay, Fargo is pretty much the same with the old Fargo: ia menyampaikan kisah sederhana, namun penuh studi karakter yang mempesona mengenai sekumpulan manusia yang menghadapi sesuatu hal yang tak biasa (bahkan tergolong luar biasa), dan memperlihatkan apa yang akan para karakter itu hadapi, dan bagaimana reaksi mereka terhadapnya. Latar belakang suatu lingkungan yang masih cukup konvensional juga berperan besar dalam membangun tone komedi gelap yang juga kaya akan cucuran darah di tengah shock tragedy yang terjadi dalam masyarakat. Ini bukan sebuah kisah kriminal biasa, ini adalah kisah kejatahatan yang down-to-earth, namun penuh kecerdasan yang luar biasa kompleks.

Tapi, Fargo juga bukan Fargo yang lama, mereka masih punya batas yang jelas di antara keduanya. Noah Hawley selaku penulis naskah tak sekadar menciptakan sebuah penceritaan ulang, namun lebih dari itu, menceritakan kisah berbeda namun masih dengan nafas yang sama dengan pendahulunya. Tentu, kisah ini lebih kompleks dengan 10 episodenya, lebih banyak karakter, lebih banyak darah, lebih sadis, tapi apa yang membuat TV series ini begitu istimewa adalah membawa kisah itu dengan nafas Fargo yang dulu, menggabungkan sebuah kisah modern namun dengan tone penuh nostalgia. 


Perlu diingat, kendati merupakan sebuah kisah kriminal, Fargo tetaplah sebuah dark comedy. And, Fargo still has that vibe, sekalipun dengan porsi yang lebih sedikit dibanding pendahulunya. Dialog-dialog hadir dengan pengemasan cerdas, tetap memancarkan sebuah komedi hitam, namun kadang mempertanyakan berbagai pertanyaan yang memutar otak. Di lain sisi, beberapa scene tampil komikal dan awkward khas dark comedy, tapi di saat yang sama, tetap dapat mempertahankan tone kriminalnya. Yeah, hitting a wife with an axe till death has never been this 'funny'. Tapi, berbicara soal humor seperti ini, rasanya tak akan lengkap tanpa membicarakan sang villain, Lorne Malvo. He has such a great sense of humor! What a villain.

Membicarakan Fargo memang berarti membicarakan para karakternya. Ya, apalah arti Fargo tanpa karakter-karakter yang kaya cerita itu. Fargo memusatkan perhatianya kepada Lester Nygaard, yang boleh jadi merupakan orang tersial yang pernah ada. Berangkat dari seorang lelaki biasa dengan istri bermulut lebar, yang kemudian kehidupannya berubah setelah sebuah tragedi secara 'tak sengaja' terjadi, yang membawanya pada satu sisi yang ia pun tak pernah sangka merupakan bagian dari dirinya. Kita dapat melihat definisi 'good guy gone bad' di dalam dirinya. Martin Freeman adalah orang yang tepat melakonkan Lester. Lester tampak seperti Bilbo Baggins, seorang pengecut dengan gaya bicara gagap, namun dengan keadaan yang memaksa keduanya berubah, Bilbo berubah menjadi seorang antihero yang pemberani, sementara Lester perlahan memunculkan sisi monsternya yang makin terasah.


Meskipun begitu, Lorne Malvo-lah yang menguasai semuanya dan pada dia lah semua mata tertuju. Ia merupakan orang yang mengontrol segalanya, penyebab dari tragedi demi tragedi, dan orang yang selalu mampu mengalihkan perhatian penonton. Dimainkan dengan sempurna oleh Billy Bob Thornton, ia layaknya seorang peneliti yang mempraktekkan langsung teorinya tentang sebuah studi karakter manusia. Ia kriminal yang jenius, tahu apa yang ia lakukan, tapi apa yang paling istimewa dari sosok ini adalah bagaimana cara ia berhadapan dengan tiap masalah, ketenangannya, hingga cara bicaranya yang manipulatif. Dandanannya mungkin menyedihkan, tapi dibalik gaya rambut dengan poni yang buruk itu, terselip salah satu otak kriminal terhebat sepanjang sejarah. It's a good thing he's a fictional character.

Sebagai sutradara, the 5 directors did a great job. Mereka sukses dalam menyeimbang dua tone Fargo yang saling bertolakbelakang. Ini bukan melulu soal kejahatan, ini adalah gabungan dari banyak genre yang saling terdepan dalam tiap sisi. Intensitas mampu terjaga dengan cukup konsisten, meski tak bisa dipungkiri lows itu tetap ada. Tapi, lihat bagaimana semua itu dikemas. Lihat bagaimana (oops, spoiler) Lorne membantai sebuah gedung dengan kamera yang hanya mengikutinya dari luar gedung, bergerak dari lantai ke lantai, hingga diakhiri klimaks fantastis. Lalu, lihat pula bagaimana Lorne mengelabui para pihak berwajib dengan sebuah masterplan luar biasa. Belum cukup, ini hanyalah dua dari banyaknya eksekusi brilian penuh ledakan intens yang mewarnai 10 episode Fargo ini.


Well, Fargo bukan berarti hadir tanpa cacat. Sekalipun screenplay racikan Noah Hawley memang cerdas, padat, dan merupakan salah satu yang terbaik di tahun ini, namun ini tidak membebaskannya dari beberapa detil yang tertinggal dan terasa janggal. Ada beberapa karakter di awal yag terlihat cukup krusial, namun nyatanya memang tak sekrusial itu. Selain itu, mungkin ada beberapa aspek di klimaks yang tak ditemani oleh detail yang lebih jelas. Sure, i'm not going to tell you which aspect. Meski begitu, terlepas dari kekurangan minor tersebut, Fargo tetaplah sebuah penghidupan karya klasik yang sangat berhasil. 

Ya, Fargo telah bangkit kembali, lewat sebuah lika liku kriminalitas yang tak hanya kompleks dan unpredictable seperti kisah crime yang lain, namun juga cerdas sembari tetap sukses dalam menggali tiap sisi humornya. Tone-nya terjaga baik, dengan sisi gelap dan terang yang cukup seimbang, membawa penonton kembali pada karya Coen Brothers. Karakter-karakter hadir dengan ciri tersendiri, lekat di ingatan, dan mampu berkembang dengan baik, dengan Billy Bob Thornton serta Martin Freeman yang berada pada lampu sorot. Lewat screenplay-nya yang berlatar sederhana di tengah masyarakat yang tak terbiasa kasus serupa, ini membuat penonton mudah terhubung dengan kisahnya yang cukup kompleks. Belum lagi, setiap kisah mampu dikemas dengan brilian yang disertai kemampuan teknis level atas, thanks to the wonderful directors. Hats off!


3 comments:

  1. Gila ni Fargo! Jarang2 orang demen sama villain, Malvo karismatik banget!!!! >_<
    Tiga episode terakhir epic! Gag nyangka Malvo mati di tangan Gus!!
    Jadi ini bener2 ga berangkat dari kisah nyata...?? Maksudku nama2 itu kan memang diganti kan?
    Klo gitu masih bisa berharap untuk season 2!!! ^_^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Fargo (film dan tv seriesnya) sama2 bukan kisah nyata, dua2nya murni fiktif. Soal teks di opening yang mengatakan kalau kisahnya didasari kisah nyata dg nama2 yg tlh diganti, itu sih hanya akal2an Coen Brothers saja, hehe.

      Delete
  2. Hi there, I discovered your blog per Google bit searching for such kinda educational advise moreover your inform beholds very remarkable for me. homeloan

    ReplyDelete