Idella: I'm goin', Miss Daisy.
Daisy: Alright Idella, see you tomorrow.
Hoke: I'm goin' too, Miss Daisy.
Daisy: Good!
Yang namanya persahabatan memang tidak lah memandang umur, suku, bangsa, maupun ras. Itu pula lah yang dialami oleh seorang wanita tua Yahudi dengan seorang supir Afro-Amerika. Berlatar belakang dimana saat rasisme masih marak-maraknya, dua manusia beda ras ini malah menjalin persahabatan erat.
Kisah itu berawal dari sebuah kecelakaan kecil, ketika seorang wanita Yahudi tua yang keras kepala, Daisy Werthan (Jessica Tandy) tak sengaja membuat mobil terjerumus ke dalam air (entah itu danau atau bukan). Kejadian ini membuat anaknya, Boolie Werthan (Dan Aykroyd) terpaksa memperkerjakan seorang supir baru, Hoke Colburn (Morgan Freeman), seorang pria Afro-Amerika yang ramah. Dan, kisah pun mulai bergulir. Daisy yang awalnya tak menerima kehadiran Hoke dengan hangat perlahan-lahan mulai menerimanya. Siapa sangka, ternyata ini merupakan awal dari kisah persahabatan yang menyentuh?
Soal akting, jangan ragukan lagi akting dua aktor dan aktris kawakan ini. Jessica Tandy serta Morgan Freeman berhasil menunjukkan kemampuan aktingnya dengan memukau. Oscar pun pernah menyematkan nama Morgan Freeman sebagai salah satu nominator di kategori Best Actor. Sebuah prestasi yang lebih gemilang lagi berada di tangan Jessica Tandy yang memenangkan Oscar untuk Best Actress berkat perannya ini. Jessica Tandy, yang berperan sebagai wanita tua sok tahu, 'tukang tuduh' dan keras kepala. Ada racun, maka pasti juga ada penawarnya. Dalam hal ini, Hoke merupakan penawar Daisy sendiri. Karakternya yang sabar, ramah, jujur, humoris, dan pintar bergaul itu seakan mampu menenenangkan karakter Daisy yang sok tahu itu. Dari semuanya itu, ternyata menghasilkan sebuah chemistry yang begitu 'klop'.
Karakter Daisy ini memang menarik, bersamaan dengan karakter Hoke, karakternya lah yang mungkin paling sering membuat tawa kecil terukir di wajah penontonnya. Lihat saja bagaimana Daisy yang panik ketika menemukan satu kaleng ikan salmonnya hilang (meski harganya hanya 1 dollar untuk 3 kaleng dan ia masih mempunyai sisa 8 kaleng). Bahkan, ia sampai menelepon anaknya, Boolie untuk datang jauh-jauh ke rumahnya, meninggalkan sarapan dan terlambat datang ke sebuah meeting hanya demi hal sepele ini. Tentu saja, Hoke-lah tersangka utamanya dalam 'kasus' ini. Dan, ketika Hoke datang, ya, memang Hoke-lah yang memakannya saat Daisy sedang keluar, karenanya ia membeli lagi satu kaleng ikan salmon sebagai penggantinya.
Dalam membuat sebuah film, memang tidaklah selalu membutuhkan jalan cerita yang begitu kompleks yang ujungnya mungkin hanya membuat penontonnya kebingungan. Hanya dengan cerita yang simpel, sederhana, ringan, dan mengalir begitu saja sebenarnya sudah dapat membuat sebuah film yang berkualitas. Sama halnya dengan Driving Miss Daisy yang sederhana ini. Berbekal dari chemistry apik Jessica Tandy dengan Morgan Freeman ternyata telah mampu mengubah film ini menjadi begitu menarik.
Jika diperhatikan, film ini agaknya sedikit mengangkat tema rasisme kedalam ceritanya. Bukan hanya dari side story-nya, seperti kasus pemboman sinagoge (tempat ibadah umat Yahudi) dan scene para polisi itu. Jika dicermati, Driving Miss Daisy juga mengangkat rasisme itu juga kedalam persahabatan antara Daisy dan Hoke, yang notabene merupakan dua manusia beda ras. Namun bedanya, hal ini lebih berbentuk sindiran terhadap rasisme itu sendiri.
Sebuah drama yang mampu menjadi sebuah film yang menyentuh sekaligus menghibur dalam satu waktu. Bruce Beresford dan Alfred Uhry berhasil menceritakan sebuah kisah persahabatan dengan cara yang ringan dan menarik untuk diikuti. Pantaslah jika film ini memenangkan Best Picture di Oscar 1990.
8.0/10
0 comments:
Post a Comment