"Maybe that's why a broken machine always makes me a little sad, because it isn't able to do what it was meant to do... Maybe it's the same with people. If you lose your purpose... it's like you're broken." ~ Hugo Cabret
Martin Scorsese kembali lewat Hugo, sebuah film keluarga yang diadaptasi dari sebuah novel berjudul The Invention of Hugo Cabret karya Brian Selznick. Naskahnya sendiri ditulis oleh John Logan yang sebelumnya pernah bekerja sama dengan Martin Scorsese di film The Aviator (2004). Dan, sebagai tambahan, Hugo ini merupakan film dalam format 3D, sebuah hal yang bisa dibilang masih barang baru bagi sutradara layaknya Martin Scorsese.
Hugo membawa kita 81 tahun ke belakang di tahun 1931, dimana ada Hugo Cabret (Asa Butterfield), seorang bocah yatim piatu yang tinggal stasiun Gare du Nord, Paris. Bagaimana akhirnya dia bisa sampai ke Gare du Nord? Panjang ceritanya. Ia dibawa oleh pamannya Claude Cabret (Ray Winstone) ke stasiun itu setelah ayahnya (Jude Law) meninggal. Claude sendiri merupakan seorang perawat jam di Gare du Nord yang alkoholik. Suatu hari, ia pergi entah kemana, meninggalkan Hugo sendiri, yang kemudian menjadi penggantinya untuk merawat jam-jam di stasiun.
Sehari-hari, Hugo mencuri mainan-mainan dari toko milik Papa George (Ben Kingsley). Tidak, dia tidak mencurinya untuk dimainkan, melainkan untuk mengambil suku cadangnya. Sebelum meninggal dalam kebakaran, ayahnya sempat mewariskan sebuah robot bernama 'Automaton' yang ia temukan di loteng museum. Ya, dia mencuri suku cadang tersebut untuk meperbaiki 'Automaton' tersebut, yang ia percayai tersembunyi sebuah pesan peninggalan ayahnya. Di sisi lain, ada Isabelle (Chloe Grace Moretz), anak baptis Papa George yang akhirnya menjadi teman dekat Hugo. Belum lagi ada inspektur stasiun (Sacha Baron Cohen) yang bisa kapan saja menangkapnya dan memasukkannya ke tempat yang tak ubahnya merupakan sebuah mimpi buruk: panti asuhan.
Hugo, film yang berjaya di 84th Academy Awards dengan membawa pulang 5 golden man-nya ini memang sangat menonjol dalam bidang teknisnya. Mulai dari sinematografi yang apik, visual-effect keren, costume designnya yang juga gak kalah keren, hingga art direction-nya yang artistik, tak ketinggala pula musiknya yang tertata rapi. Well, tapi tentu saja Hugo tak hanya unggul dalam bidang teknisnya, apalagi sutradaranya adalah sutradara sekelas Martin Scorsese yang pastinya tidak pernah setengah-setengah dalam berkarya.
Awalnya, mungkin anda akan mengira ini adalah film drama untuk anak. Ya, hal sama yang saya pikirkan. Tapi, sedikit demi sedikit, Scorsese perlahan memberi kita clue tentang maksud dari Hugo ini. Bisa dibilang, Hugo ini merupakan bentuk apresiasi Scorsese kepada dunia perfilman yang telah puluhan tahun ia geluti, sekaligus penghormatan bagi seorang sutradara Prancis, George Melies yang terkenal dengan film klasiknya "A Trip to the Moon". Bukan hanya itu saja, Hugo juga bisa dibilang sebagai ajang pembuktian bagi sosok Martin Scorsese sebagai sala satu sutradara paling berbakat di dunia yang bisa menyutradarai hampir semua genre film.
Karyanya yang satu ini memang tak biasa. Tak ada unsur gangster, thriller, darah, pistol, bubuk mesiu, atau pun suara-suara tembakan memekakkan telinga. Kali ini sang maestro agak melenceng sedikit dari jalurnya selama ini. Ya, meskipun awalnya sempat pesimis bahwa Scorsese akan menyutradarai film drama keluarga untuk pertama kalinya. Tapi, apakah berarti Scorsese gagal menyajikan drama keluarga yang berkualitas? Tentu tidak. Martin Scorsese malah berhasil menambah satu lagi film terbaik di tahun kemarin. Yup, Scorsese did it again!
Sehari-hari, Hugo mencuri mainan-mainan dari toko milik Papa George (Ben Kingsley). Tidak, dia tidak mencurinya untuk dimainkan, melainkan untuk mengambil suku cadangnya. Sebelum meninggal dalam kebakaran, ayahnya sempat mewariskan sebuah robot bernama 'Automaton' yang ia temukan di loteng museum. Ya, dia mencuri suku cadang tersebut untuk meperbaiki 'Automaton' tersebut, yang ia percayai tersembunyi sebuah pesan peninggalan ayahnya. Di sisi lain, ada Isabelle (Chloe Grace Moretz), anak baptis Papa George yang akhirnya menjadi teman dekat Hugo. Belum lagi ada inspektur stasiun (Sacha Baron Cohen) yang bisa kapan saja menangkapnya dan memasukkannya ke tempat yang tak ubahnya merupakan sebuah mimpi buruk: panti asuhan.
Hugo, film yang berjaya di 84th Academy Awards dengan membawa pulang 5 golden man-nya ini memang sangat menonjol dalam bidang teknisnya. Mulai dari sinematografi yang apik, visual-effect keren, costume designnya yang juga gak kalah keren, hingga art direction-nya yang artistik, tak ketinggala pula musiknya yang tertata rapi. Well, tapi tentu saja Hugo tak hanya unggul dalam bidang teknisnya, apalagi sutradaranya adalah sutradara sekelas Martin Scorsese yang pastinya tidak pernah setengah-setengah dalam berkarya.
Awalnya, mungkin anda akan mengira ini adalah film drama untuk anak. Ya, hal sama yang saya pikirkan. Tapi, sedikit demi sedikit, Scorsese perlahan memberi kita clue tentang maksud dari Hugo ini. Bisa dibilang, Hugo ini merupakan bentuk apresiasi Scorsese kepada dunia perfilman yang telah puluhan tahun ia geluti, sekaligus penghormatan bagi seorang sutradara Prancis, George Melies yang terkenal dengan film klasiknya "A Trip to the Moon". Bukan hanya itu saja, Hugo juga bisa dibilang sebagai ajang pembuktian bagi sosok Martin Scorsese sebagai sala satu sutradara paling berbakat di dunia yang bisa menyutradarai hampir semua genre film.
Ada yang bisa tebak ini siapa? :p |
8.0/10
0 comments:
Post a Comment