Saturday, October 13, 2012

Tagged under: , , , , ,

[Review] Midnight in Paris (2011)

"Can you picture how drop dead gorgeous this city is in the rain? Imagine this town in the '20s. Paris in the '20s, in the rain. The artists and writers!" ~ Gil Pender

Paris. Mendengarnya saja mungkin telah terbayang segala keindahannya. Siapa yang tak ingin ke sana? Ke kota pusat peradaban budaya dunia, dengan segala keromantismenya. Ah, tapi menjelajahi Paris di masa kini sepertinya sudah merupakan tema yang kadaluarsa. Bagaimana kalau kita mengelana di Paris masa lalu, tepatnya di tahun 1920-an. Bagaimana? Masih biasa? Bagaimana kalau di tahun itu, kita dapat berjumpa dengan para seniman dan penulis dunia? Picasso, Cole Porter, Hemingway, duo Fitzgerald, Gertrude Stein, bahkan... Salvador Dali dan Luis Bunuel!

Jangan pikir dulu kalau saya terlalu mengada-ada. Ya, itu bukanlah sebuah ketidakmungkinan, meski hanya lewat sebuah film. Lewat tangan dingin sutradara dan screenwriter kawakan, Woody Allen lah, hal itu terwujud. Dengan terbungkus oleh kisah romantisnya yang memikat plus unsur fantasi yang menjadi sebuah jembatan untuk menyeberang ke Paris masa lalu. 



Seorang penulis naskah film yang banting setir menjadi novelis, Gil Pender (Owen Wilson), kekasihnya, Inez (Rachel McAdams) serta kedua orangtuanya (Kurt Fuller dan Mimi Kennedy), merupakan contoh kecil dari banyaknya orang yang terpikat dengan Paris. Gil dan Inez sendiri sebenarnya hanyalah menumpang liburan, menemani orangtua Inez yang datang untuk berbisnis. Suatu hari, mereka bertemu dengan Paul (Charlie Sheen) dan Carol (Nina Arianda), pasangan yang kebetulan merupakan teman lama Inez. Paul sendiri merupakan seorang yang cerdas, yang sangat sering memamerkan kecerdasannya, bahkan terkadang menjadi orang yang sok tahu segalanya.

Seusai sebuah pesta, Inez, Paul, dan Carol memustuskan untuk berjalan-jalan, namun Gil lebih memilih pulang, dengan alasan tak mau menganggu kesenangan mereka. Demi dapat menikmati kegemerlapan Paris di malam hari, ia pun rela pulang dengan berjalan kaki, meski yah, akhirnya tersesat. Tepat tengah malam, ia berhenti di suatu tempat, dan muncullah sebuah mobil kuno mendekatinya. Dengan ajakan penumpang lain di mobil itu, ia pun akhirnya pergi bersama mereka menuju sebuah pesta. Di sana, Gil merasakan sesuatu yang aneh, mulai dari gaya pakaian para tamu yang agak kuno, bahkan hingga bertemu dengan orang-orang yang seharusnya telah tiada. Tanpa sadar, ternyata ia telah memasuki sebuah dimensi lain, ke Paris 1920-an, masa yang selalu diidamidamkan Gil. 


\

Terus terang saja, meski ide film tentang time travel bukan sesuatu yang benar-benar baru, namun nyatanya Allen tetap mampu memberikan sebuah inovasi yang menarik, yang menjadikan ide ceritanya yang berkisah tentang penjelajahan waktu ini tetap menjadi sebuah ide yang segar dan tetap menarik. Hebatnya, malah membuat kisah perjalanan waktu ini menjadi film yang ringan dan lebih mudah diikuti.

Allen menjabarkan kisah perjalanan waktu dalam Midnight in Paris ini tanpa berbelit-belit. Tak usah memakai peralatan super canggih, hanya cukup dengan bunyi dentingan jam tengah malam, dan.. tada! Si 'mesin waktu' pun segera muncul. Ya, hanya dengan menaiki sebuah mobil kuno tanpa penggunaan CGI sekalipun, kita sudah dapat mengelana di tengah indahnya Paris tua, dan kalau anda beruntung, anda dapat bertemu dengan para masetro dunia seni, atau bahkan menemukan cinta.



Naskah yang ditulis oleh Woody Allen sendiri ini memang kuat. Terbukti, Oscar memberinya sebuah penghargaan untuk Best Original Screenplay. Midnight in Paris sendiri dipenuhi oleh begitu banyak dialog cerdas. Hebatnya, tanpa harus memamerkan kecerdasannya, dialog cerdas ini dapat berbaur dengan percakapan sehari-hari dengan sempurna. Lewat dialognya ini pula, keluarlah porsi komedinya yang setidaknya, dapat membuat anda tersenyum.

Di sepanjang Midnight in Paris bergulir, Allen tampaknya tak ada lelahnya mengekspos keindahan Paris. Bahkan, sejak menit pertamanya, Allen telah mengajak kita menyelinap di sudut-sudut Kota Paris yang mempesona, mulai dari kehidupan Paris pagi yang damai, saat matahari mulai tertidur pulas, hingga Paris malam yang berkilauan dengan Menara Eiffel yang menjulang tinggi. Rasanya, tak akan ada yang menyangkal keindahan kota yang satu ini


Menikmati indahnya Paris, rasanya tak lengkap jika tidak ditemani oleh musik yang mengalir dengan sendu.  Bersamaan dengan visual openingnya yang mengekspos kehidupan Paris, Midnight in Paris juga menyajikan scoring jazz kental karya Sidney Bechet, Si tu vois ma mèreDitemani oleh alunan scoring jazz yang menawan di telinga, tampaknya film ini memang menghadirkan sebuah pengalaman yang luar biasa dalam hal musiknya.

Soal depertemen akting, Midnight in Paris terbilang unggul. Sebagai 'pemimpin barisan', Owen Wilson yang seketika mampu menjelma menjadi tokoh romantis, meninggalkan karakernya yang kita kenal selama ini. Di belakangnya, ada aktris cantik asal Perancis, Marion Cotillard yang tampil begitu menawan. Chemistry yang terbangun di antara keduanya juga terjalin dengan sangat erat. Menghasilkan sebuah kisah cinta kuat antar dua manusia berbeda masa. Jangan lupakan pula kehadiran Rachel McAdams yang juga tampil baik dan Michael Sheen, yang tampil menjengkelkan dengan segala kesok-tahuannya.


Midnight in Paris memang bertabur karakter-karakter masa lalu yang begitu populer di bidangnya. Tentu, untuk memerankah karakter-karakter itu, diperlukan pula para aktor dan aktris yang berkualitas, dan Midnight in Paris memang punya itu. Di dalamnya, terdapat nama-nama seperti Kathy Bates, Adrien Brody, Tom Hiddleston, Alison Pill, hingga Corey Stoll. Nyatanya, kesemuanya mampu memberikan sebuah penampilan yang baik. Jelasnya, seluruh karekter dalam film ini mampu tampil dengan baik, meski sayangnya, ada beberapa karakter yang muncul hanya sebagai tempelan alias pemanis saja, tanpa kontribusi cerita yang banyak kepada filmnya sendiri.

Midnight in Paris merupakan karya imajinasi liar seorang Woody Allen yang tampil ringan, tanpa perlu sesuatu yang terlalu menguras otak. Mudah untuk dicintai, namun sangat sukar untuk dilupakan. Midnight in Paris tak ubahnya merupakan sebuah teleporter yang mengantarkan kita mundur ke masa emas Paris versi Gil dan dengan elegannya mengajak kita bernostalgia ke satu-persatu cuilan sejarah seni dunia (meski memang ini tak bisa dijadikan sebuah referensi seni dunia masa lalu, haha) sambil menyusuri setiap sisi Paris yang begitu elok. Meski kemungkinan besar di sepanjang film anda harus terus-terusan membuka google, tapi tetap saja Midnight in Paris merupakan romance-fanstasy apik yang punya kekuatan magis untuk menahan anda tetap berada di tempat duduk. We all love (Midnight in) Paris!


8.0/10

0 comments:

Post a Comment