Tak ada yang menampik bahwa trilogi kisah keluarga mafia Italia ini merupakan salah satu trilogi terbaik sepanjang masa. Trilogi yang terdiri dari The Godfather, The Godfather: Part II, dan The Godfather: Part III ini tercatat telah memborong total 9 Oscar, termasuk dua kali meraih Best Picture (The Godfather dan The Godfather: Part II), plus 20 nominasi Oscar lainnya. Tampaknya itu telah cukup menggambarkan kualitas trilogi yang disutradarai Francis Ford Coppola dan diangakat dari novel karya Mario Puzo. Dan rasanya, tak ada salahnya pula kalau saya mereview ketiga seri film ini.
The Godfather (1972)
"You talk about vengeance. Is vengeance going to bring your son back to you? Or my boy to me?" ~ Vito Corleone
Inilah yang menjadi awal mula karya abadi ini, yang takkan tergerus oleh zaman sekalipun. Berkisah tentang seorang pemimpin kelompok mafia bernama Vito Carleone (Marlon Brando). Sosok yang kerap dipanggil "Godfather" ini memang punya kekuasaan luar biasa yang akhirnya membuat ia disegani dan ditakuti oleh banyak orang. Vito sendiri telah memiliki 4 orang anak, yaitu Santino "Sonny" Corleone (James Caan), Federico "Fredo" Corleone (John Cazale), Michele "Michael" Corleone (Al Pacino) dan Constanzia "Connie" (Talia Shire) Corleone serta 1 anak angkat, Tom Hagen (Robert Duvall).
Di antara kelima anaknya tersebut, Michael merupakan anak paling akhir. Michael, yang saat itu tengah kasmaran dengan seorang gadis berambut pirang bernama Kay Adams (Diane Keaton) pernah terang-terangan menyatakan bahwa ia tak akan menjadi penerus atau menjadi bagian dari bisnis ayahnya. Namun, janjinya itu harus diingkarinya, saat ayahnya tertembak, ia pun akhirnya harus memegang kendali terhadap bisnis ayahnya. Michael, yang awalnya merupakan tokoh protagonis pun sekejap berubah menjadi seorang pemimpin mafia yang tak segan membunuh siapa saja yang menghalangi jalannya.
The Godfather merupakan film yang nyaris sempurna. Hampir seluruh aspek-aspeknya digarap dengan sangat mengedepankan perfeksionitas. Di jajaran aktingnya, seluruh castnya mampu tampil dengan begitu luar biasa. Baik itu Marlon Brando, Al Pacino, James Caan, hingga Robert Duvall berhasil memainkan setiap porsi mereka dengan sangat baik. Al Pacino misalnya, yang sukses bertransformasi menjadi sosok pemimpin mafia berdarah dingin, atau Marlon Brando yang sukses memerankan pemimpin jaringan mafia yang bijaksana dalam mengambil sikap. Tapi, yang lebih mencengangkan dari Marlon Brando adalah ekspresinya, saya tak tahu bagaimana caranya ia membentuk ekspresi wajah ikonik seperti itu.
Dalam scipt hasil Francis Ford Coppola bersama Mario Fuzo, juga terbukti berperan penting dalam jalannya film ini. Naskahnya berjalan dengan sangat kuat dengan segala unsur yang menyinggung pengkhianatan, keluarga, cinta, amarah, hingga kriminalitas, yang juga didukung penyutradaraan maha hebat dari Francis Ford Coppola. Ya, bayangkan saja, di saat durasinya ternyata telah berjalan 1 jam, malah lebih terasa bahwa film baru berjalan selama 20 menit, dan itu, hanya bisa dilakukan oleh seorang Francis Coppola. Nino Rota juga berhasil menghasilkan sebuah scoring yang sangat Italia dan meninggalkan kesan mendalam. Sebuah 175 menit yang tak terlupakan, bahkan sangat sulit menemukan kekurangan dalam film ini. Sebuah drama yang powerful, haunting, dan sangat mencengangkan.
9.5/10
The Godfather: Part II (1974)
"If anything in this life is certain, if history has taught us anything, it is that you can kill anyone." ~ Michael Corleone
Masih mengekor kesuksesan besar pendahulunya, The Godfather, Francis Ford Coppola melanjutkan kembali karyanya setelah 2 tahun. Di sekuelnya, ceritanya kembali berkembang tentang kehidupan keluarga Corleone setelah Vito "Godfather" Corleone meninggal. Di antara kisah ini, juga terselip kisah hidup Vito Corleone atau yang sebenarnya bernama asli Vito Andolini. Bermula dari bagaimana ia, yang awal mulanya merupakan seorang bocah asal Corleone, yang kedua orangtuanya dibunuh oleh mafia setempat dan akhirnya ia pun harus merantau ke benua seberang, Amerika, sendirian dan memulai kehidupannya seperti semula lagi, hingga akhirnya Vito menjadi seorang pemimpin mafia yang sangat disegani.
Sama seperti prekuelnya, film yang sebenarnya berada di luar novel Mario Fuzo ini juga tetap saja sangat susah untuk ditemukan kekurangannya. Dalam The Godfather: Part II, Francis Ford Coppola masih ditemani oleh sang novelis asli, Mario Fuzo dalam penulisan naskahnya. Dan masih sama seperti pendahulunya, naskah yang mereka berdua hasilkan, tetap menjadi sebuah naskah yang sangat kuat dalam segala sudutnya, dan ya, masih juga ditemani oleh gaya penyutradaraan seorang Francis Ford Coppola yang sederhana, namun akhirnya sangat berhasil membuat sebuah film dengan kompleksitas tinggi. Dua kisah yang dirangkai dengan non-linier itu juga berhasil dijalin dengan sangat erat.
Dalam ensemble castnya yang masih setia diisi oleh pemeran-pemeran dari film sebelumnya, juga tampil dengan sangat baik. Tapi, tentu saja, Robert De Niro lah yang paling bersinar alias scene stealer. Sebagai Vito muda yang hidup sederhana, ia berhasil memberikan aura yang benar-benar meyakinkan. Al Pacino, juga masih setia dengan pembawaannya yang sangat dingin. Begitu pula penampilan menakjubkan dari Michael V. Gazzo dan Lee Strasberg yang sama-sama menampilkan dua karakter berperawakan unik dengan baiknya. Jangan lupakan pula Talia Shire yang sangat mengagumkan sebagai Connie.
Di scoringnya, masih duduk Nino Rota yang ditemani Carmine Coppola yang dapat meracik scoring yang menghanyutkan, lembut, dan megah. The Godfather: Part II merupakan sekuel yang mungkin hanya ada 100 tahun sekali, sebuah sekual yang dapat menyamai, atau bahkan di atas film sebelumnya. Dengan naskah, ensemble cast, directing, scoring, editing, segalanya dapat hadir tanpa cela. Dengan durasi super lama, 200 menit, seluruh aspek film dapat dimanfaatkan dengan sangat baik. Bravo Coppola!
9.5/10
The Godfather: Part III (1990)
"Just when I thought I was out... they pull me back in." ~ Michael Corleone
Inilah final chapter dari trilogi fenomenal milik Coppola. Setelah 14 tahun, ia kembali menghidupkan kisah keluarga mafia ini. Di bagian ketiga ini, cerita beralih ke tahun 1979, di mana kedua anak Michael Corleone, Mary Corleone (Sofia Coppola) dan Anthony Vito Corleone (Frank D'Ambrosio) telah beranjak dewasa, sedangkan Michael sendiri juga telah menua dan sakit-sakitan. Sama seperti ayahnya di waktu muda, Anthony juga tak ingin melanjutkan bisnis keluarganya, dan lebih memilih menjadi seorang penyanyi opera. Selain itu, muncul pula anak dari saudara Michael, Sonny, yaitu Vincent Mancini (Andy Garcia) yang berandal. Di sisi lain, satu-satunya anak perempuan Michael, Mary, lama kelamaan terlibat cinta dengan Vincent yang tak lain merupakan sepupunya sendiri.
Bisakah kita melupakan bahwa sekuel terakhir ini merupakan film yang berdiri sendiri? Sayangnya, tak bisa. Andai saja bisa, mungkin The Godfather: Part III akan saya puji habis-habisan. Tapi, sebuah sekuel, mau tak mau juga harus dibandingkan dengan prekuelnya. Sebagai sebuah sekuel, jujur, installment ketiga ini sedikit mengecewakan. Saya tak dapat merasakan feel mafia yang dulu pernah saya rasakan dalam kedua film sebelumnya. Francis malah lebih memilih untuk menggeser kisah mafianya menjadi sebuah kisah drama keluarga dengan plot mafia yang tak terlalu istimewa. Dalam durasinya pun, terdapat beberapa adegan yang terkesan tak masuk akal dan terkesan dipaksakan.
Di antara banyaknya kekurangan film ini, mungkin yang merupakan kesalah terbesar adalah, terpilihnya anak Francis Coppola, Sofia Coppola sebagai Mary. Jujur, aktingnya dalam film ini benar-benar kaku dan tanpa emosi sama sekali, dan setiap kali ia muncul dalam layar, saya selalu merasa terganggu dengan kehadirannya. Ia bahkan sempat memenangkan Razzie untuk perannya yang satu ini. Ya, sepertinya jalan Sofia bukanlah di depan layar, melainkan di belakang layar. Terbukti, ia malam pernah memenangkan Oscar untuk Best Original Screenplay lewat film Lost in Translation. Beruntung, Francis Coppola menggandeng Andy Garcia dan Al Pacino yang menjadi pemimpin terkuat di jajaran castnya.
Meski begitu, film yang satu ini memang juara dalam visualnya. Sinematografinya indah, dengan angle-angle yang terasa sangat nyaman di mata. Sebenarnya, film ini tidaklah seburuk apa yang orang-orang bilang. Bahkan, saya pikir, film ini sedikit under-rated. Memang merupakan bagian terlemah dari ketiga serinya, tapi bagian ketiga The Godfather ini tetaplah sebuah film yang baik, hanya saja memang jauh jika dibandingkan dengan pendahulunya. Sekuel yang agak mengecewakan, tapi tak bisa pula dikatakan buruk.
7.5/10
_______________________________________________________________
Well, dari ketiga itu, tentu dua film pertama lah yang terbaik. Lalu, di antara keduanya, mana yang lebih baik? Hm, sebenarnya sangat sulit untuk menentukan, namun bagi saya sendiri, saya lebih suka dengan The Godfather: Part II. Tapi, terlepas dari mana yang terbaik mana yang tidak, yang jelas ketiga seri film ini tetaplah merupakan karya prestisius dari Coppola. Sebuah trilogi yang tak akan lekang oleh waktu. Salah satu trilogi terbaik yang pernah ada.